Jumat, 27 Juli 2012

A Tale of Two Cities
Tahun ini dunia literatur merayakan 200 tahun kelahiran pengarang terbesar Inggris di era Ratu Victoria, Charles Dickens (7 Februari 1812 – 9 Juni 1870). Jadi judul di atas memang adalah salah satu karya terbaik sastrawan besar tersebut. Ulasan majalah Tempo 25 Maret 2012 tentang Dickens dan karya-karyanya, membuat ketertarikan saya akan novel A Tale of Two Cities muncul kembali.
It was the best of times, it was the worst of times, it was the age of wisdom, it was the age of foolishness, it was the epoch of belief, it was the epoch of incredulity, it was the season of Light, it was the season of Darkness …
Demikian pembukaan novel tersebut, penuh dengan paradoks kehidupan. Kisah novel ini pun sangat menggugah jiwa. Ini adalah salah satu novel Dickens yang paling tragis dan mengandung banyak simbol. Mengambil latar belakang Revolusi Perancis dengan setting dua kota dunia yang sedang bergolak saat itu, Paris dan London, Dickens mengetengahkan dua tokoh utamanya yaitu Charles Darnay dan Sydney Carton.
Charles Darnay, adalah seorang keturunan bangsawan Perancis yang menolak nama keluarganya berikut warisannya lalu melarikan diri ke Inggris. Darnay malu dan benci pada nama keluarganya yang dihujat seluruh Perancis. Sedangkan Sydney Carton adalah pria Inggris yang cerdas tetapi apatis yang menyia-nyiakan hidupnya dengan alkohol. Carton mencintai Lucie Manette dengan seluruh jiwa raganya, namun Lucie lebih memilih cinta Darnay. Akan tetapi karena cintanya yang kelewat besar, Carton berjanji pada Lucie akan melakukan apa saja untuknya, termasuk memberikan nyawanya. Singkat cerita, hal itulah yang kemudian dilakukan Carton untuk Lucie. Saat Darnay akan dihukum guillotine, Carton menggantikannya, karena mereka berdua memang mirip.
Lewat kematiannya, Carton menebus kesalahan-kesalahan dan kesia-siaan hidupnya dengan  bangkit kembali lewat namanya yang digunakan oleh Darnay. Carton mewakili sikap mulia seseorang yang rela mati bagi sahabatnya. Sedangkan Darnay menampakkan sikap yang seharusnya dipunyai kaum aristokrat yaitu menyatakan keadilan dan melindungi yang lemah. Dengan kata lain, Carton dan Darnay ingin melakukan penebusan atas masa lalu ataupun latar belakang mereka yang kelam.
Kisah novel ini mengingatkan pada Paskah yang baru dirayakan bulan lalu. Melalui Paskah kita mengenang satu Pribadi yang benar dan suci yang mengorbankan diriNya untuk kehidupan orang berdosa. Paskah menyatakan keadilan Tuhan yang harus ditegakkan sekaligus ungkapan cinta kasih yang tak berkesudahan. Lewat Paskah, kehidupan kelam kita sungguh ditebusNya. Lewat Paskah, kita dipersatukan dengan Pribadi yang teramat mencintai kita. Lewat Paskah, ada kebangkitan dan kehidupan baru. Tetapi sungguhkah hal itu terjadi dalam kehidupan anda? Jika ya, apakah hal itu makin terpancar melalui kehidupan anda?

Dimuat di Buletin Pillar edisi Mei 2012
 

Read More......