A Tale of Two Cities
Tahun ini dunia literatur
merayakan 200 tahun kelahiran pengarang terbesar Inggris di era Ratu Victoria, Charles
Dickens (7 Februari 1812 – 9 Juni 1870). Jadi judul di atas memang adalah salah satu karya terbaik
sastrawan besar tersebut. Ulasan majalah Tempo 25 Maret 2012 tentang Dickens dan
karya-karyanya, membuat ketertarikan saya akan novel A Tale of Two Cities muncul kembali.
It was the best of times, it was the worst of times, it was
the age of wisdom, it was the age of foolishness, it was the epoch of belief,
it was the epoch of incredulity, it was the season of Light, it was the season of
Darkness …
Demikian pembukaan novel
tersebut, penuh
dengan paradoks kehidupan. Kisah novel ini pun sangat menggugah jiwa. Ini adalah salah
satu novel Dickens yang paling tragis dan mengandung banyak simbol. Mengambil latar belakang
Revolusi Perancis dengan setting dua
kota dunia yang sedang bergolak saat itu, Paris dan London, Dickens
mengetengahkan dua tokoh utamanya yaitu Charles Darnay dan Sydney Carton.
Charles Darnay, adalah seorang keturunan
bangsawan Perancis yang menolak nama keluarganya berikut warisannya lalu
melarikan diri ke Inggris. Darnay malu dan benci pada nama keluarganya yang
dihujat seluruh Perancis. Sedangkan Sydney Carton adalah pria Inggris yang cerdas tetapi
apatis yang menyia-nyiakan hidupnya dengan alkohol. Carton mencintai Lucie
Manette dengan seluruh jiwa raganya, namun Lucie lebih memilih cinta Darnay. Akan tetapi
karena cintanya yang kelewat besar, Carton berjanji pada Lucie akan melakukan apa saja
untuknya, termasuk memberikan nyawanya. Singkat cerita, hal itulah yang
kemudian dilakukan Carton untuk Lucie. Saat Darnay akan dihukum guillotine, Carton menggantikannya,
karena mereka berdua memang mirip.
Lewat kematiannya, Carton menebus kesalahan-kesalahan
dan kesia-siaan hidupnya dengan bangkit kembali lewat
namanya yang digunakan oleh Darnay. Carton mewakili sikap mulia seseorang
yang rela
mati bagi sahabatnya. Sedangkan Darnay menampakkan sikap yang seharusnya dipunyai kaum aristokrat yaitu menyatakan keadilan dan melindungi yang
lemah. Dengan kata lain, Carton dan Darnay ingin melakukan penebusan atas masa
lalu ataupun latar belakang mereka yang kelam.
Kisah novel ini
mengingatkan pada Paskah yang baru dirayakan bulan lalu. Melalui Paskah kita mengenang satu Pribadi yang benar
dan suci yang mengorbankan
diriNya untuk kehidupan orang berdosa. Paskah menyatakan keadilan Tuhan
yang harus ditegakkan
sekaligus ungkapan
cinta kasih yang tak berkesudahan. Lewat Paskah, kehidupan kelam kita
sungguh ditebusNya. Lewat Paskah, kita dipersatukan dengan Pribadi yang teramat
mencintai kita. Lewat Paskah, ada kebangkitan dan kehidupan baru. Tetapi
sungguhkah hal itu terjadi dalam kehidupan anda? Jika ya, apakah hal itu makin
terpancar melalui kehidupan anda?
Dimuat di Buletin Pillar edisi Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar